Menyelami Makna Lebaran Ketupat di Masyarakat Jawa

Ida Farida
Apr 02, 2025

Foto: IG @_herlina_ng

KOSADATA - Lebaran Ketupat selalu menjadi perayaan istimewa bagi masyarakat Jawa, yang dirayakan sepekan setelah Idul Fitri, tepatnya pada 8 Syawal. Tradisi ini menandai berakhirnya puasa sunnah enam hari di bulan Syawal dan menjadi momentum untuk mempererat tali silaturahmi.

 

Di berbagai daerah, perayaan ini dikenal dengan istilah Syawalan. Tradisi ini diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga pada abad ke-15 melalui ritual "Bakda Kupat" yang melambangkan permintaan maaf dan pembersihan diri setelah menjalani ibadah puasa. Sejak saat itu, Lebaran Ketupat menjadi bagian dari kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun.

 

Budayawan Zastrouw Al-Ngatawi menyebut bahwa tradisi ini muncul di era Walisongo dengan mengadaptasi tradisi slametan yang telah berkembang di masyarakat Nusantara. Sunan Kalijaga menjadikan momen ini sebagai sarana mengenalkan ajaran Islam tentang bersyukur kepada Allah, bersedekah, serta menjaga silaturahmi di hari kemenangan.

 

Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi PBNU), KH Jadul Maula, dalam sebuah diskusi menjelaskan bahwa ketupat memiliki makna filosofis yang dalam. Dalam bahasa Jawa, ketupat diistilahkan dengan "kupat," yang merupakan akronim dari "ngaku lepat" atau mengakui kesalahan.

 

Selain itu, bentuk ketupat yang persegi empat juga memiliki makna simbolik. Angka empat merujuk pada banyak aspek penting dalam kehidupan, seperti empat arah mata angin (Utara, Selatan, Timur, Barat), empat mazhab dalam Islam (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali), serta empat khalifah pertama dalam Islam, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Bahkan, dalam kebudayaan Jawa, angka empat juga berkaitan dengan tokoh punakawan dalam pewayangan: Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong.

 

“Empat juga mencerminkan empat malaikat utama, yakni Jibril,


1 2
Post a Comment

Comments 0