Menilik Bisnis Pencacahan Plastik di Sekitar TPST Bantargebang

Ida Farida
Aug 07, 2023

Bisnis Pencacahan Plastik di sekitar TPST Bantargebang. Foto: KPNas

awal-awal ada pembuangan sampah di DKI, masih acak-acakan. Saat itu belum disebut pemulung, tetapi Gepeng (gelandangan dan pengemis). Gepeng sangat dimusuhi pemerintah DKI.

 

Beberapa kutipan mengenang masa sedih dalam buku Pemulung Sang Pelopor 3R Sampah (Tri Bangun L. Sony dan Bagong Suyoto, 2008) berikut.

 

“Saat itu kehidupan pemulung sangat sedih, dikejar-kejar terus. Tidak boleh mendirikan gubuk. Hanya pada malam hari kita mendirikan gubuk-gubukan dari keranjang ayam, bau tahi ayam. Kalau siang sudah dirobohkan. Besoknya lagi membuat gubuk lagi, begitu seterusnya," ujar Herman.

 

“Lebih sedih lagi kalau musim hujan datang. Susah untuk bisa istirahat, nggak bisa tidur”, kata Herman.

 

“Pada suatu hari beberapa pemulung ditangkap Kamtib atau Trantib diangkut mobil, saya lagi menggendong anak kecil dan menuntun dua anak. Anik sama Nadi. Untungnya saya tidak diciduk, mungkin kasihan … Entah mereka dibawa kemana?”, tambah Yunah istri Herman.

 

Herman dan keluarganya pindah ke Bantargebang tahun 1990. Ia masih mulung sampah dan tahu beberapa pabrik penerima sampah plastik. Ketika itu istrinya punya uang Rp Rp 3 juta, dijadikan modal untuk beli barang, selanjutnya memasukannya ke pabrik Kapuk dan Bogor.

 

Tahun 1990 harga sampah murah, semua murah, semua laku. Kresek (HD), PET laku. Tahun 1986 itu plastik kresek mulai laku dikirim ke Cakung Jakarta.

 

PE sampai sekarang, dari dulu masih tinggi. Plastik PE Bersih Rp 8.000-8.500/kg, kalau kotor Rp 4.000/kg. Harga PE pernah mencapai Rp 13.000-15.000/kg. Sekaramg jualnya dekat di Bekasi. Kalau yang kotor ke Cina Depok.

 

Pengiriman plastik kresek pertama ke Kapuk, itu terbesar se-Asia. Selanjutnya ke Tangerang, Pandaan Jawa Timur, Bandung. Ketika belum ada pabrik biji plastik di Bantargebang


1 2 3 4 5

Related Post

Post a Comment

Comments 0