Pengealolaan sampah masih didominasi konsep dan pendekatan end-of pipe solution atau ujung pipa hingga sekarang. Foto: ist
Oleh: Bagong Suyoto
Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas)
Mengapa dan bagaimana malapetaka sampah melanda di sejumlah daerah di Indonesia sekarang ini? Kota-kota itu dirundung sampah. Sepertinya deadlock! Misalnya kasus persampahan di Tangerang Selatan, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Bali, Pemalang, dll. Saya menulis buku berjudul “Malapetaka Sampah – Kasus TPA Bantargebang, Kasus TPA/IPLT Sumurbatu dan TPST Bojong” yang diterbitkan pada November 2004. Sekarang benar-benar menjadi kenyataan pahit.
Ketika itu saya punya prediksi tentang masa depan pengelolaan sampah kurang bagus di Indonesia, ketika itu pemerintah sedang giat-giatnya melakukan rapat-rapat, diskusi, seminar, workshop dan pertemuan-pertemuan guna menyusun draft akademik RUU tentang Pengelolaan Sampah. Sejumlah lembaga non-pemerintah meminta pemerintah dan DPR RI mempercepat pengesahan RUU tersebut menjadi UU.
Pada akhir 2004 itu semakin tampak tanda-tanda Malapetaka Sampah. Gerakan protes, demontrasi penolakan terhadap tempat pembuangan akhir (TPA) yang buruk meluas. Bahkan, muncul Gerakan Anti-TPA sampah. Akibat dampak pencemaran lingkungan dan ancaman kesehatan masyarakat semakin massif. Boleh dibilang praktek open-dumping sudah jadi budaya. Bau busuk sampah dari TPA menusuk hidung semakin menyengat.
Kondisi buruk ini kian memuncak ketika TPA Leuwigajah Cimahi/Bandung longsor dan meledak menewaskan ratusan orang dan menguruk pemukiman dan lahan pertanian pada 2005. Tragedi tersebut berbuntut tidak adanya TPA pengganti yang layak, akibatnya Bandung jadi Lautan Sampah. Itulah malapetaka sampah benar-benar melanda Bandung Raya pada 2005-2006.
Setahun kemudian, 2006 disusul tragedi sampah longsor di zona III TPST Bantargebang, menewaskan 3 orang. Tahun 2016 TPA Sumurbatu longsor menelan 2 nyawa pemulung. Penyebabnya karena sampah dari tahun ke tahun terus bertambah banyak dan tidak dikelola dengan baik dan benar.
Pengealolaan sampah masih didominasi konsep dan pendekatan end-of pipe solution atau ujung pipa hingga sekarang. Konsep end-of-pipe treatment menitik beratkan pada pengolahan dan pembuangan limbah ke TPA sampah. Umumnya sampah yang dibuang ke TPA hanya ditumpuk dan ditumpuk saja, pad akhirnya TPA penuh. Kasus tersebut sedang melanda TPA Burangkeng Kabupaten Bekasi, TPA Piyungan Yogyakarta, TPA Sarimukti Bandung, TPA Ciupecang Tangerang Selatan, TPA Galuga Kabupaten Bogor, TPA Cipayung Depok, dll.
Konsep dan pendekatan end-of-pipe tersebut pertama, bersifat reaktif, yaitu bereaksi setelah limbah terbentuk. Kedua, malah menimbulkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup semakin massif, ancaman kesehatan masyarakat kian serius, merusak estetika dan merendahkan martabat manusia yang lokasikanya dijadikan TPA, gas-gas sampah air lindi tidak dikelola. Justru malah polutannya berpindah ke media dan wilayah lain.
Ketiga, biaya operasinal tinggi. Mayoritas biaya pengelolaan sampah dialokasikan untuk mengumpulkan sampah, mengangkut dan menumpuk di TPA. Artinya, sampah tidak diolah. Keempat, bertentangan dengan UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No. 81/2012 dan peraturan perundangan terkait. Kelima, manajemen tertutup dan rendahnya pemantauan, pengawasan dan penegakkan hukum.
Hal tersebut diperparah dengan pengelolaan TPA sangat buruk, ketika musim kemarau panjang ada yang terbakar selama tiga bulan, tujuh bulan, dll. Saat musim hujan terjadi sampah longsor. Malapetaka Sampah masih menghantui. “Hantu Belang TPA Open-Dumping”.
Kebanyakan TPA tidak punya sarana utama dan sarana pendukung, seperti jembatan timbang, ada pengolahan sampah skala kecil dan tidak digunakan, sampah hanya ditumpuk menjadi gunung-gunung sampah, tidak punya pencucian dan workshop kendaraan, tidak ada pagar dan green-belt sebagai pemisah dengan pemukiman warga, insfrastruktur jalan operasional dan drainase buruk, tidak ada manajemen gas-gas sampah, tidak punya IPAS dan jika ada tidak dioperasikan dan tidak ada manajemen leachate akibatnya mengalir langsung ke kali, lahan pertanian dan pekarangan warga.
Kondisi TPA tersebut sangat merugikan masyarakat, lingkungan hidup dan kita tidak mampu mengelola sampah, mengembalikan menjadi sumberdaya. Sebab selama ini pemerintah kabupaten/kota merasa benar sendiri, dan merasa mampu sendiri mengelola sampahnya, jika bisa menjauhkan partisipasi masyarakat. Ada pula yang alergi dikritik dan dikontrol.
Mestinya pemerintah kabupaten/kota kembali ke prinsip dasar khierarki pengelolaan sampah. Bahwa sampah harus dipilah dan diolah dari sumbernya. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI mengeluarkan prinsip dasar pengelolaan sampah diadopsi dari Global Waste Management Outlook, United Nation Environmental Programme (UNEP), 2015. Prinsi dasar tersebut antara lain: (1) Harus ada upaya pencegahan sebelum menghasilkan sampah. (2) Meminimalkan kegiatan yang menghasilkan sampah. (3) Melakukan guna ulang. (4) Mengembalikan sampah menjadi sumber daya, termasuk menjadi energi. (5) Membuang/memusnakan sampah di landfill/TPA. (6) Melakukan kontrol sisa-sisa sampah.
Nyaris semua kabupaten/kota sangat tergantung pada TPA dalam penanganan sampahnya. TPA menjadi solusi terbaik dan termudah saat ini, mungkin bisa belasan tahun ke depan. Belum ada gerakan massif mengelola sampah berdasarkan paradigma baru berbasis pada UU No. 18/2008, PP No. 81/2012 dan peraturan perundangan terkait.
Belum ada konsep dan panduan tentang zero landfill di daerah kabupaten/kota. Memang konsep ini bermula dari pengelolaan sampah kota, yang menekankan pengelolaan dan pengolahan sampah mulai dari sumber dengan multi-teknologi menuju zero waste society. Dalam Chapter 4 Waste, Material Management and Circular Economy (Organization for Economic Co-orporation and Development, OECD Environmental Performance: Korea 2017).
Misalnya, Korea Selatan memiliki performance pengolahan sampah yang baik dan sekarang bergerak kearah suatu pendekatan circular economy (towards a circular economy approach). Korea Selatan tumbuh sangat cepat sebagaimana negara-negara OECD, seperti Jerman, Austria, Denrmak, Inggris, dll. Korea Selatan menggerakan secara dominan sumber-energy-intensif industri, dan perusahaan skala kecil dan menengah (small and medium-sized enterprise, SMEs) memainkan peran penting, terutama lingkungan industri dan sektor-sektor pengembangan teknologi, mewakili sekitar 90% perusahaan.
Jadi konteksnya pengelolaan sampah harus melibatkan berbagai stakeholders, masyarakat, dunia usaha, NGOs, CBO, dll. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Jalan sendiri akan membuat linglung di bawah langit yang semakin gelap gulita, tanpa tujuan. Zero landfill itu harus didukung oleh gerakan zero waste society. Dan juga adanya berbagai aktivitas pengolahan sampah dari sumber, seperti pendekatan 3R (reduce, reuse, recycle). Sehingga pengolahan sampah kota tidak hanya tertumpu pada TPA, kini semakin kompleks dan pelik di sejumlah daerah di Indonesia.***
Oseng-oseng Madun, Warung Betawi Sederhana, Terkenal se-Jagat Maya
KULINER Feb 25, 2023Sekjen PDIP Kembali Sindir PAN soal Isyarat Dukung Ganjar-Erick
POLITIK Mar 03, 2023Relawan Ganjar Pranowo Berikan Dukungan ke PDIP di Pilpres 2024
POLITIK Mar 09, 2023Tanpa Libatkan Demokrat dan PKS, Nasdem Tetapkan Cak Imin Jadi Cawapres Anies
POLITIK Aug 31, 2023
Comments 0