Oleh: Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST
PLTU Paiton I merupakan pembangkit IPP (Independent Power Producer) di bilangan Paiton, Jatim, yang di dibangun pada 1994 oleh "Joint Operation" (JO)Â antara General Electric Company (AS), Mitsui Corp (Jepang) dan PT. Batu Hitam Perkasa (Indonesia). Yang saat ini kemudian ada PT. Toba Bara yang merupakan perusahaan Luhut BP juga. IPP itu sering disebut juga sebagai Paiton Energy Company (PT. PEC).
Pada awal 1999 Direktur Utama PLN Adhi Satria menggugat Kontrak/PPA (Power Purchase Agreement) antara PEC dan PLN karena menurut penilaian nya terlalu mahal. Saat itu Adhi Satria menyebut PPA dimaksud sebagai "World Class Mark Up " Contract ! Mengingat harga jual listrik IPP Paiton tersebut, kala itu,  ke PLN sebesar USD 8,5 cent/Kwh. Sementara hitungan Tim Adhi Satria (Tenaga Ahli PLN bersama para Konsultan) bila PLTU sekelas (800 MW) itu di laksanakan dan di operasikan langsung oleh PLN maka harga jual listrik produk PLTU tersebut hanya pada kisaran USD 3,5-4 cent per kWh. Artinya harga jual listrik IPP PLTU PEC tersebut hampir tiga kali lipat harga listrik PLTU PLN. Belum lagi dalam kontrak /PPA PLN dan PT. PEC terdapat TOP (Take Or Pay) "Clause" yang sangat memberatkan PLN mengingat aturan minimal "stroom" yang harus dibayar perharinya adalah minimal 70% daya terpasang. Artinya bila PLTU swasta itu dalam keadaan "tidur" pun juga di anggap bekerja dan minimal 70% "stroom" nya harus dibayar PLN.
Semua "manuver" Adhi Satria diatas berakibat di copotnya Adhi dari jabatan Dirut PLN dan digantikan Koentoro Mangkoesoebroto, pada awal 2000, yang notabene masih menjadi Menteri Pertambangan dan Energi RI, dan menjadikan tanda tanya besar, karena terjadi ditengah gejolak privatisasi dan penjualan asset Negara bernama PLN !
Namun dari pelajaran diatas dapat kita petik bahwa harga jual listrik swasta itu memang mahal ! Bukan karena "mark up" !
Dari illustrasi diatas serta beberapa referensi PPA yang ada diluar Negeri saat itu, harga listrik produk IPP memang pada kisaran 8,5 cent-10 cent/Kwh sebagaimana terjadi atas "State Owned Enterprices" (BUMN) semacam TNB (Tenaga National Berhard) milik Pemerintah Malaysia, EGAT (Electricity Generating Authority of Thailand) milik Thailand ataupun NAPOCOR (National Power Corporation) milik Philipina. Sedang bila "power plant"/pembangkit tersebut di bikin dan di operasikan oleh Pemerintah secara langsung maka harga dari produk listrik itu memang hanya sepertiganya dari PPA yang mereka bikin dengan Investor. Artinya harga listrik produk IPP secara International memang sudah tinggi atau tiga kali lipat dari harga produk pembangkit sendiri.
Dari pengalaman Dirut PLN Adhi Satria diatas serta harga produk IPP swasta di luar negeri, memang rata rata produk IPP sudah tida kali lipat produk BUMN. Kondisi Kelistrikan yang dialami oleh Adhi Satria diatas masih mengikuti UU No 15/1985 ttg Ketenagalistrikan dimana PLN masih dalam posisi PKUK (Pemegang Kuasa Usaha Kelistrikan) dengan "Single Buyer System". Artinya PLN/Pemerintah saat itu masih memiliki daya tawar yang tinggi untuk menentukan tarip listrik di ujung ritail (mengingat ritail masih dikuasai PLN, dan hanya sisi pembangkit saja yang mayoritas swasta).Â
Namun mulai 2010 ritail sudah dijual DIRUT Dahlan Iskan ke Taipan 9 Naga, sehingga mulai 2010 kelistrikan tidak "Single Buyer" lagi tetapi sudah dalam posisi "Multy Buyer and Multy Seller" (MBMS) System yang menurut Analisa sidang MK dalam kondisi tersebut sudah sepenuhnya Liberal, dan tarip listrik (sebenarnya ) sudah naik minimal lima kali lipat. Dan apabila Pemerintah mau ikut campur tangan agar tarip relatip stabil , konsekuensinya harus mengeluarkan dana subsidi (mulai tahun 2010 sudah diatas Rp 100T). Subsidi MBMS tahun 2020 dan 2021 sebesar Rp 200,8T (Repelita Online 8 Nopember 2020) sedang subsidi MBMS untuk 2022 (sesuai pengakuan Menkeu SMI di Energy.com 11 Januari 2023) sebesar Rp 133,33T dengan catatan tarip listrik pada 2022 sudah dinaikkan 10%.
Intinya munculnya System Kelistrikan MBMS adalah akibat ulah para Penguasa yang ingin memanfaatkan bisnis kelistrikan yang isinya "daging semua" ! Kelistrikan yang semula sesuai Pembukaan UUD 1945 adalah untuk "Infrastruktur" demi kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Kemudian dirubah Ideologi/ "mind set" nya menjadi "komoditas komersial" yang Para Penguasa Kelistrikan sejak tahun tahun Ideologi ini muncul, bisa "menunggangi" PLN untuk memperkaya diri sendiri!***
Oseng-oseng Madun, Warung Betawi Sederhana, Terkenal se-Jagat Maya
KULINER Feb 25, 2023Sekjen PDIP Kembali Sindir PAN soal Isyarat Dukung Ganjar-Erick
POLITIK Mar 03, 2023Relawan Ganjar Pranowo Berikan Dukungan ke PDIP di Pilpres 2024
POLITIK Mar 09, 2023Tanpa Libatkan Demokrat dan PKS, Nasdem Tetapkan Cak Imin Jadi Cawapres Anies
POLITIK Aug 31, 2023
Comments 0