Diperlukan upaya untuk melindungi anak di kawasan TPA. Foto: ist
Rasanya miris, masih banyak anak kecil yang membantu orang tuanya mengais, memilah sampah. Bahkan, ketika mengais sampah di TPA/TPST menemukan sisa-sisa makanan, buah-buahan dicomot dan langsung dimakan. Ini bukan fiksi, fakta sejarah kemanusiaan memilukan ketika kita menggembar-gemborkan plank: Menuju Indonesia Emas 2045. Lalu, bagaimana dengan nasib anak-anak di lingkungan tercemar ini? Mereka hidup dalam permainan struktural dan terperangkap framework politik dan kekuasaan yang memiskinkan dan menistakan.
Dalam buku Bagong Suyoto, POTRET KEHIDUPAN PEMULUNG - Dalam Bayangan Kekuasaan dan Kemiskinan (2015) ditulis: Bagaimana menyelamatakan dan mengarahkan masa depan mereka agar tidak terjebak dalam lingkaran kehidupan orang tuannya? Apakah mereka akan mewarisi label orang tuannya sebagai pemulung, pengais sampah? Ada yang menjuluki si gembel. Apakah anak-anak pemulung juga disebut gembel?! Harus ada kebijakan yang memihak mereka?
Anak-anak usia 5 sampai 12 tahun seharusnya bermain dalam suasana yang riang gembira. Bermain yang memenuhi standar jasmani dan rohani, tentunya ada ruang memadai dan lingkungan yang sehat. Bagaimana kondisi ruang bermain anak-anak pemulung? Satu persoalan tersendiri bagi keluarga pemulung. Anak-anak tidak dapat menikmati ruang main yang nyaman seperti dirasakan anak-anak pada umumnya.
Anak-anak pemulung dalam gubuk-gubuk dan lingkungan penuh dengan sampah. Sulit memisahkan dengan pekerjaan orang tuanya. Mereka bermukim dalam gubuk-gubuk kumuh, bacin dengan
Oseng-oseng Madun, Warung Betawi Sederhana, Terkenal se-Jagat Maya
KULINER Feb 25, 2023Sekjen PDIP Kembali Sindir PAN soal Isyarat Dukung Ganjar-Erick
POLITIK Mar 03, 2023Relawan Ganjar Pranowo Berikan Dukungan ke PDIP di Pilpres 2024
POLITIK Mar 09, 2023Tanpa Libatkan Demokrat dan PKS, Nasdem Tetapkan Cak Imin Jadi Cawapres Anies
POLITIK Aug 31, 2023
Comments 0