Kematian Ibu dan Bayi Masih Tinggi, UGM Soroti Gagalnya Sistem Deteksi Dini

Ida Farida
Apr 14, 2025

Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada, Prof. Detty Siti Nurdiati. Foto: UGM

KOSADATA – Di tengah klaim perbaikan layanan kesehatan, angka kematian ibu dan bayi di Indonesia masih menyajikan ironi. Data terbaru menunjukkan, Angka Kematian Ibu (AKI) masih bertengger di angka 189 per 100.000 kelahiran hidup, sementara Angka Kematian Bayi (AKB) mencapai 17 per 1.000 kelahiran hidup. Angka-angka ini menempatkan Indonesia di posisi yang memprihatinkan dibanding negara-negara tetangga di Asia Tenggara.

 

Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada, Prof. Detty Siti Nurdiati, menilai tingginya angka tersebut mencerminkan persoalan mendasar dalam sistem kesehatan ibu dan anak. Dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya, Detty menyoroti pergeseran penyebab utama kematian ibu dari perdarahan menjadi komplikasi non-obstetri seperti penyakit jantung, obesitas, dan diabetes.

 

“Setiap kehamilan berisiko. Tidak ada yang benar-benar bebas dari komplikasi,” ujar Detty dilansir laman resmi UGM, Senin (14/4/2025). 

 

Ia mengkritik pendekatan layanan kesehatan yang terlalu reaktif dan terlambat dalam melakukan deteksi dini, yang menurutnya menjadi penyebab utama kegagalan penanganan secara komprehensif.

 

Kritik Detty bukan tanpa dasar. Ia mengungkapkan bahwa banyak kematian sebenarnya dapat dicegah jika skrining dan diagnosis dilakukan sejak masa prakonsepsi. Keterlambatan pengenalan risiko dan diagnosis membuat keputusan medis menjadi serba tanggung dan menempatkan ibu dan bayi pada risiko yang tak perlu.

 

Dalam paparannya, Detty menekankan pentingnya pendekatan kedokteran fetomaternal dalam mengelola kehamilan berisiko tinggi. Sayangnya, praktik ini belum menjadi arus utama dalam layanan primer seperti puskesmas, yang justru seharusnya menjadi garda terdepan dalam deteksi dini.

 

“Kita masih terpaku pada pendekatan community medicine yang seragam dan kaku,” ujarnya, sembari menekankan pentingnya pergeseran menuju personal medicine—pelayanan kesehatan yang mempertimbangkan kondisi unik tiap individu, mulai dari genetik hingga gaya hidup.

 

Lebih jauh, Detty menyoroti lemahnya sinergi antara bukti ilmiah dan pengambilan kebijakan. Ia mendorong penggunaan evidence synthesis, termasuk pemanfaatan teknologi dan kecerdasan buatan, sebagai landasan pembuatan kebijakan berbasis data. Menurutnya, tanpa riset yang tajam dan metodologi yang kuat, layanan kesehatan hanya akan menjadi tambal sulam.

 

Ironisnya, dalam upaya menurunkan angka kematian, sistem justru tersandera oleh tumpulnya infrastruktur dan lemahnya interprofesionalitas. “Peran dokter subspesialis seperti kami tidak akan berarti tanpa sistem kesehatan yang kokoh dan kolaboratif,” ujar Detty.

 

Rektor UGM, Prof. Ova Emilia, dalam sambutannya menyebut Detty sebagai satu dari 75 Guru Besar aktif FK-KMK dari total 528 Guru Besar aktif UGM. Namun, di balik pencapaian akademik itu, angka kematian ibu dan bayi tetap menjadi pekerjaan rumah yang belum kunjung rampung. Sebuah sinyal bahwa masalahnya bukan pada kurangnya pakar, tapi lemahnya implementasi sistematis di lapangan.***

Related Post

Post a Comment

Comments 0