Buldoser dan Piring: Teror Atas Nama Investasi

Ida Farida
Sep 21, 2023

Sejumlah massa menolak rencana investasi di Pulau Rempang. Foto: Twitter

Oleh: Hasan M. Noer

Pemerhati Sosial Politik

Ketika seorang pecundang agama berdiri tegak di atas sebuah altar kematian, ia seakan mendengar perintah Ilahi, “Bunuhlah! Tuhan memberkatimu!” Ketika seorang pejabat negara, dengan geram mengirim ancamannya kepada rakyat, “Siapa pun yang menghalangi investasi, akan saya buldoser. Jangan main-main!” 

Ia bertindak atas nama negara untuk membuldoser rumah-rumah rakyat hingga rata dengan tanah. Ketika seorang panglima secara gegabah mengirim ancamannya kepada rakyat, “Jika rakyat datang dengan 1000 orang, kita akan turunkan 1000 tentara. Tidak perlu bawa senjata, cukup dengan kekuatan piting, semua akan teratasi.” 

Lantas, apa yang akan terjadi dengan dunia di hadapan kenyataan mencekam itu? Kita membayangkan, akibat dari pernyataan itu, kelak korban-korban pun bergelimpangan. Dan itulah yang terjadi di Rempang. Altar-altar rumah sakit menjadi saksi atas bencana kebiadaban sebuah isme melalui “takhta, uang, dan Tuhan,” sebagai lokus sucinya. Itulah terorisme. 

Istilah terorisme berasal dari bahasa Latin: terrere, artinya “menyebabkan ketakutan.” Sebuah paham yang menggunakan simbol-simbol negara atau agama sebagai alat paling sahih untuk menakut-nakuti rakyat atau manusia, sambil melakukan “kekerasan sosial” tanpa rasa iba dan belas kasihan (Juergensmeyer, 2002).

Mata kita terbelalak tak percaya, di saat menyaksikan konvoi ribuan aparat bersenjata, dilengkapi tank lapis baja dan gas air mata, dikerahkan untuk mematok tanah dan membuldoser rumah warga Rempang di Kepri (07/09/2023), rakyat menyambut mereka dengan sikap tegas: ‘lawan kezaliman.’ 

Sejak hari itu, malah hari-hari berikutnya, hidup rakyat, masa depan mereka, terus terguncang. Mereka harus memungut kembali serpihan-serpihan harapan itu di atas titian ketidakpastian. Akibatnya, seluruh bangunan peradaban yang ditegakkan di atas darah dan air mata itu, kini terancam musnah jadi debu. 

“Buldoser dan Piting”

Sesungguhnya, seberkas harapan yang tertuang dalam iman, justru dibangun dari kesadaran tentang Tuhan, berikut tanggung jawab kekhalifahan dalam memikul amanah-Nya: memakmurkan bumi dan seisinya. Karenanya, orang beragama, apa pun agamanya, mestinya berada di garis paling depan untuk menegaskan identitas dirinya sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam. 

Iman sejati, memang ada dalam tantangan. Berapa amal putih dan berapa aib hitam yang pernah tertorehkan di atas kanvas hidup yang bising, merupakan pancaran cahaya iman dan pantulan kekuatan ilmu. Sebab, “Iman tanpa ilmu,” demikian M. Bambang Pranowo (2003: 5) menegaskan, “menyebabkan orang jadi fakir. Sebaliknya, ilmu tanpa iman mengantarkan orang jadi kafir. Iman tanpa ilmu melahirkan para pengemis. Sebaliknya, ilmu tanpa iman menyebabkan orang jadi ateis. Iman tanpa ilmu, menjadikan orang mudah ditipu. Sebaliknya, ilmu tanpa iman, menyebabkan orang jadi penipu!” 

Wahai para pemimpin! Bukankah anugerah ketinggian derajat hanya akan diberikan Allah kepada orang-orang yang beriman dan berilmu? (Qs. 58: 11). Di sini, kita boleh bertanya, apakah para pejabat kita, di negeri Pancasila ini, di kala menjalankan tugasnya sebagai “abdi rakyat”: ‘melayani, memberayakan, dan membangun’ (Rasyid, 2000), dibekali dengan iman dan ilmu? Bukankah dengan iman hidup menjadi terarah, dengan ilmu hidup menjadi mudah, dengan amal hidup menjadi bermakna, dan dengan seni hidup menjadi indah? 

Apakah di negeri ini, tidak ada lagi pemimpin yang memiliki “seni mengatasi konflik,” sehingga hidup rakyat pun menjadi indah? Tidak ada lagikah pemimpin yang siap beramal untuk rakyat, sehingga hidupnya menjadi bermakna? Tidak ada lagikah pemimpin yang memiliki ilmu, sehingga negara ini dikelola dengan cara-cara yang beradab? Tidak ada lagikah pemimpin yang memiliki iman, sehingga negara ini dikonstruksi ke arah yang benar, mewujudkan negeri yang sejahtera, adil, dan makmur, di bawah bingkai: “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur?”

Mengapa pulakah ada ancaman buldoser dan piting? Begitukah seorang negarawan bekerja untuk rakyatnya? Rupanya negeri yang ‘gema ripah loh jinawi’ ini, kaya dengan para penguasa yang ‘politisi’, tetapi miskin dengan para penguasa yang ‘negarawan.’ Apatah lagi, penggunaan narasi ‘bolduser’ untuk menakut-nakuti rakyat demi uang dan jabatan. Tindakan ini, jelas-jelas merupakan sikap ‘durhaka’ terhadap ‘ibu kandung’ sendiri. ‘Buldoser,’ secara bahasa berarti ‘bekerja untuk menyerang,’ maka rakyat menjadi sasaran dari serangan tersebut.

Inilah tindakan brutal dan tak berperikemanusiaan dari penguasa terhadap rakyatnya. Padahal rakyat adalah pemilik kedaulatan tertinggi di suatu negara. Karena itu, jangan salahkan rakyat jika mereka melawan, bahkan berbalik menjadi brutal. Tatkala mereka menjadi brutal, proses pencarian “kambing hitam” pun dimulai. Seakan-akan, rakyat bukan berdiri sebagai “korban” kebrutalan aparat, melainkan dituduh sebagai “pelaku” kejahatan sosial. 

Bertolak dari sinilah, kebijakan lucu seorang Panglima TNI dihadirkan. Ia meminta prajuritnya tidak usah bawa senjata tetapi “piting.” Piting adalah tindakan menjepit kaki dan mengapit lengan. “Jika rakyat datang dengan 1000 orang, kita turunkan tentara 1000 orang. Cukup dengan piting, semuanya teratasi.” Akhirnya, tentara bukan lagi menjadi tentara rakyat, melainkan tentara investor. Tentara dihadap-hadapkan satu lawan satu dengan rakyatnya sendiri. Suatu tindakan bodoh yang melawan sumpah prajurit dan sapta marga tentara sendiri.

Panglima berbicara dengan nada kalem, polos tanpa dosa. Akan tetapi, ia telah meletakkan ‘bom bunuh diri’ di atas ranjang pangantinnya sendiri. Ia tidak sempat merenung ‘akibat’ di balik hembusan angin ‘panas’ dalam kata-katanya itu. Melalui narasi yang tak bersahabat itu, sejatinya ia telah mengirim “ambulans” buat anggota dan rakyatnya sendiri. Tetapi, makna ‘piting’ oleh Kapuspem TNI dijelaskan sebagai “merangkul” warga. Sebuah makna yang tak ada dalam kamus.

“Teror Atas Nama Investasi

Ketika berbicara tentang teror, Mark Juergensmeyer, menjelaskan definisi ini melalui sebuah jargon simbolis yang dijelaskan oleh seorang tersangka pelaku teror bahwa, antara ‘teror’ dan ‘militansi’ adalah dua hal yang berbeda. Teror adalah pengkhianatan, sedangkan militansi adalah perjuangan. Perjuangan demi membela kebenaran dan menegakkan keadilan, pasti akan menemukan seorang pahlawan. Tetapi, pengkhianatan demi menyingkirkan kebenaran dan memusnahkan keadilan, pasti akan menemukan seorang pecundang. Teror adalah tindakan seorang pecundang, sedangkan militansi adalah tindakan seorang pahlawan. Di sini, sebuah idiologi telah ditemukan, yaitu: “idealogi militansi rakyat.”

Maka masuk akal bila kasus Rempang dilihat dari Jakarta, para demontran itu dengan segera dicap sebagai ‘pecundang.’ Sebaliknya, jika kasus Rempang ditatap dari Batam, para demonstran itu dijuluki sebagai ‘pahlawan.’ Di sinilah pertarungan dua nilai yang berlawanan: pejuang vs pengkhianat, pahlawan vs pecundang.

Seorang pejuang, selalu menjadikan rakyat sebagai simbol kepahlawanannya. Sebaliknya, seorang pengkhianat, selalu menjadikan investor sebagai simbol kepecundangannya. Kekerasan aparat, hanya mengkin dilakukan oleh mereka yang mengabdi kepada investor, bukan mereka yang mengabdi kepada rakyat. 

Karenanya, masuk akal ketika pengakuan seluruh tersangka pelaku “kekerasan sosial” di berbagai belahan dunia, tak sudi disebut ‘teroris,’ melainkan ‘militan sosial.’ Atas nama perjuangan menegakkan “kedaulatan rakyat,” mereka dibenarkan melakukan “pembelaan diri,” demi melindungi “keselamatan rakyat” tersebut.

Bukankah dalil hukum yang biasa diucapkan secara fasih oleh Mahfudz MD bahwa “keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi—salus populi suprema lex esto?” Akan tetapi, mengapa pulakah Mahfudz MD tampil tak bertenaga di depan kamera teleivi, seakan meniadakan dalil “salus populi suprema lex esto” ini dari nalar ilmu dan narasi intelektualnya, tatkala ia bicara tentang ‘investasi’ di Rempang?

Dalam konteks respons Mahfudz MD ini, maka sebuah pertanyaan musykil segera diajukan, apakah benar sejarah tentang kesalehan (pahlawan) dan kezaliman (pecundang), sama-sama memiliki manfaat dan mudarat dalam perpektif agama? Pertanyaan lebih substansial terkait dengan proposisi di atas adalah, apakah benar makna “kedamaian” (islâm) adalah hasil dari aksi seimbang antara melaksanakan kebajikan (amar ma’ruf) dan memerangi kejahatan (nahi munkar)? Jika benar, lantas bagaimanakah aplikasi kategoriknya dalam kenyataan sosial sehari-hari?

Sebutlah misalnya, ketika perintah “budoser” itu disuarakan oleh Menko Kemarinves, seketika saja mengundang hadirnya seorang ‘pahlawan’ bagi rakyat Rempang bernama: “Iswandi bin Muhammad Ya’kub” alias Bang Long. Tokoh ini berbulat tekad untuk berkata kepada dunia bahwa, “Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup berputih mata.” Sebuah tekad yang sudah bisa diduga akibatnya, yaitu: “rusuh.”

Maka, ledakan kasus Rempang tidaklah mengejutkan bagi mereka yang waras. Dan pengerahan aparat yang berlebihan merupakan kebalikannya. Karenanya, Hafidz Abbas, mantan Ketua Komnas HAM, menyebutnya sebagi pelanggaran HAM berat. Sebab, semua prodesur tidak dijalankan oleh pemerintah di kala melakukan “penggusuran” rakyat di Rempang itu. Sebuah proses penegak hukum yang kacau, berakibat pada penghancuran “kepercayaan” rakyat kepada pemimpinnya. 

Apalagi, di saat gambaran tentang korban-korban yang berlumuran darah itu dipantulkan melalui rekaman media sosial, memerlihatkan badai batu-batu besar dijerembabkan ke atas kepala dan badan polisi yang tertunduk bersama tameng pemukulnya itu. Sesaat kemudian, tampak korban-korban bergelimpangan di altar-altar rumah sakit, membuat gambaran peristiwa itu menjadi dramatis. Sementara di Jakarta, kita mendengar Kapolri berkata santun, “Tak ada korban di Rempang.” Sungguh, sebuah pembajakan nalar yang nyata.

Di sinilah, banyak orang, dengan keputusasaan yang sama, menyaksikan gambaran-gambaran peristiwa mencemaskan tersebut, seakan-akan mereka melihat simbol-simbol kehidupan sehari-harinya diserang dan dimusnahkan, seakan-akan mereka pun ikut merasakan kegelisahan orang-orang yang mengalaminya secara langsung. 

Karenanya, masuk akal kiranya, mengapa orang di luar Rempang ikut terpanggil dengan suka rela untuk masuk menjadi “pembala” rakyat Rempang, meski kemudian mereka harus menerima tuduhan sebagai “provokator.”

Di sini, kita bersaksi bahwa tugas Mahfudz MD dan Bahlil, dua tokoh alumni HMI yang digadang-gadang sebagai penjaga marwah ‘keselamatan rakyat,’ kian tak berguna, bahkan absurd. Kedua tokoh ini justru ‘tegak lurus’ agar investasi berjalan terus, meski Muhammdiyah, NU, dan MUI, mengutuk dan menuntut agar investasi dihentikan dan rakyat dipulihkan hak-hak hidupnya. Sementara, Presidium Nasional KAHMI tampak buta dan tuli, diam seribu bahasa.

“Kullukum ra’in, wa kullukum mas’ulun—Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung-jawabannya. Sesungguhnya, Allah Maha Tahu apa yang terjadi, meski seluruh dunia bungkam. Atas nama investasi, pemerintah tega melakukan teror terhadap rakyatnya sendiri. Buldoser dan piting pun menjadi sahih dilakukan.

Bahkan, hari-hari ini, melalui media sosial, kita masih menyaksikan tekanan aparat kepada warga agar bersedia membubuhi tanda tangan untuk digusur. Ya Allah, ampunilah para pemimpin yang telah kehilangan akal sehat dan hati nurani itu! Wallahu a’lam.***

Related Post

Post a Comment

Comments 0