Beban Berat Perlindungan Anak di Lingkungan Tercemar Sampah

Ida Farida
Jul 08, 2024

Diperlukan upaya untuk melindungi anak di kawasan TPA. Foto: ist

Oleh: Bagong Suyoto

Ketua sampahan%20Indonesia">Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI)

 

Fakta menunjukkan sangat jelas, masih banyak anak yang hidup di wilayah tercemar pulutan sampah, seperti pemukiman di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Puluhan, mungkin ratusan anak hidup di sekitar TPA/TPST Bantargebang, TPA Sumurbatu, TPA Burangkeng, TPA Galuga, TPA Sarimukti, dll. Pada umumnya mereka dalam kondisi ekonomi sosial miskin, kurang pendidikan, dan terbelakang. Nelangsa di atas bumi dan di bawah langit!

 

Bahkan, anak-anak mengikuti orang tuanya mengais sampah, memilah sampah, membantu mengurus rumah tangga, dll. Ada juga yang bermain di lingkungan tercemar. Anak-anak dan perempuan hamil sangat rentan dengan lingkungan tercemar, karena dampak dari gas-gas sampah, udara kotor, leachate, air minum tercemar, dll. Tentu berimbas pada kesehatannya terancam. 

 

Menurut Djoko Heru Martono (BPPT, 2004), Gas yang ditemukan dari TPA sebagian besar terdiri dari ammonia (NH3), karbon dioksida (CO2), karbon monookisida (CO), hidrogen (H2), asam sulfida (H2S), metana (CH4), nitrogen (N2), dan oksida (O2). Dari gas-gas tersebut, kandungan terbanyak adalah ammonia (45 - 60%) dan karbon dioksida (40 - 60%). Metana dan karbon dioksida merupakan produk dari pembusukan anaerobik dari sampah organik. Jika kandungan metana di udara mencapai 5 - 15%, maka landfill dapat meledak, karena pada kondisi tersebut, jumlah oksigen dalam landfill sangat terbatas. (Djoko Heru Martono, 2004).

 

Selanjutnya pakar tersebut mengatakan, leachate mengandung beberapa zat dan parameter yang pada kadar tertentu bersifat sebagai pencemar. Zat dan parameter tersebut diantaranya:   Amonia nitrat, biological oxygen demand (BOD), chemical oxygen demand (COD), Sulfat, dan pH < 7. Kandungan BOD yang tinggi pada leachate menunjukan bahwa kadarnya pH nya rendah. Kondisi pH rendah/agak asam dibawah kisaran normal akan membuat hewan air menjadi hipersensitif terhadap parasit (mikroba). Hal ini menyebabkan hewan air mengalami gangguan pertumbuhan atau bahkan terancam kehidupannya.

 

Rasanya miris, masih banyak anak kecil yang membantu orang tuanya mengais, memilah sampah. Bahkan, ketika mengais sampah di TPA/TPST menemukan sisa-sisa makanan, buah-buahan dicomot dan langsung dimakan. Ini bukan fiksi, fakta sejarah kemanusiaan memilukan ketika kita menggembar-gemborkan plank: Menuju Indonesia Emas 2045. Lalu, bagaimana dengan nasib anak-anak di lingkungan tercemar ini? Mereka hidup dalam permainan struktural dan terperangkap framework politik dan kekuasaan yang memiskinkan dan menistakan. 

 

Dalam buku Bagong Suyoto, POTRET KEHIDUPAN PEMULUNG - Dalam Bayangan Kekuasaan dan Kemiskinan (2015) ditulis: Bagaimana menyelamatakan dan mengarahkan masa depan mereka agar tidak terjebak dalam lingkaran kehidupan orang tuannya? Apakah mereka akan mewarisi label orang tuannya sebagai pemulung, pengais sampah? Ada yang menjuluki si gembel. Apakah anak-anak pemulung juga disebut gembel?! Harus ada kebijakan yang memihak mereka? 

 

Anak-anak usia 5 sampai 12 tahun seharusnya bermain dalam suasana yang riang gembira. Bermain yang memenuhi standar jasmani dan rohani, tentunya ada ruang memadai dan lingkungan yang sehat. Bagaimana kondisi ruang bermain anak-anak pemulung? Satu persoalan tersendiri bagi keluarga pemulung. Anak-anak tidak dapat menikmati ruang main yang nyaman seperti dirasakan anak-anak pada umumnya. 

 

Anak-anak pemulung dalam gubuk-gubuk dan lingkungan penuh dengan sampah. Sulit memisahkan dengan pekerjaan orang tuanya. Mereka bermukim dalam gubuk-gubuk kumuh, bacin dengan sanitasi sangat buruk. Orang tua mereka mengais sampah di TPA, kemudian dibawa pulang dan ditumpuk di sekitar gubuk. Lalu istrinya mensortir sampah atau menyobek plastik. Sepanjang hari anak-anak kecil mengikuti ibunya, kecuali lelah dan tidur. 

 

Dunia anak-anak pemulung adalah sampah. Seperti dunia orang tuannya, ya sampah. Tulang dan dagingnya tumbuh besar berkah penghasilan dari sampah. Sampah tak lagi asing bagi anak-anak ini. Memori anak-anak ini melekat dengan dunia sampah

 

Kesedihan dan kegembiraan mereka berada dalam sampah. Kata anak-anak kota sampah menjijikan, sebaliknya, anak-anak pemulung melihat sampah mengasyikan. Bagi mereka terbiasa dengan bau busuk sampah, bau busuk leachate, bau busuk gas methan, dan seterusnya. 

 

Anak-anak apa pun situasinya, tidak peduli, apakah ada pertengkaran, harga kebutuhan pokok naik, orang tuanya berantam karena kurang uang belanja, dll. Mereka menuruti isi hatinya untuk bermainan dengan kawan-kawan sebayanya. Masa anak-anak adalah masa bermain. 

 

Tetapi banyak orang tua pemulung dan kaum miskin yang tidak mempedulikan, malah “memenjarakan” anak-anak dalam dunia kerja. Banyak anak yang dipaksa bekerja siang malam sebagai pengais sampah guna menopang ekonomi keluarga. Masa anak-anak itu telah direnggut orang tua dalam mempertahankan kelangsungan hidup keluarga, yang seharusnya bukan tanggung jawabnya. Hak-hak anak telah dirampas sedemikian rupa oleh kaum dewasa?

 

Anak-anak ini pun terpaksa merawat adiknya yang masih kecil (balita) ketika orang tuanya mengais atau memilah sampah. Beban orang tuanya ditransfer ke anaknya yang masih usia dini. Beban anak semakin berat. 

 

Kita perlu menelusuri dan menelaah berkaitan dengan dasar hukum dan kajian-kajian ilmiah tentang perlindungan anak. Anak-anak merupakan aset dan gerenasi penerus bangsa Indonesia yang harus diperhatikan dan ditangani dengan serius. 

 

Dasar hukum perlinmdungan anak mengacu pada Undang-Undang No. 35/2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Ketentuan lebih lanjut mengenai Perlindungan Khusus bagi Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 71B diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 1 ayat (1) UU No. 35/2014 menyatakan; Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.  Ayat (2) Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

 

Selanjutnya Pasal 21 ayat (1) UU No. 35/2014 menyatakan: Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan Hak Anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental. Pasal 21 ayat (2) Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak.

 

Dalam penjelasan umum UU di atas dikatakan, bahwa Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak asasi anak yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional. Jaminan ini dikuatkan melalui ratifikasi konvensi internasional tentang Hak Anak, yaitu pengesahan Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak).

 

Hak-hak anak tertuang dalam Pasal 26 sampai 28, hak anak yang wajib dipenuhi orangtua, diantaramya: Hak mendapatkan identitas; Hak mendapatkan pendidikan; Hak untuk bermain; Hak mendapatkan perlindungan; Hak untuk rekreasi; Hak untuk mendapatkan makanan (bergizi dan sehat); Hak untuk mendapatkan jaminan kesehatan. 

 

Upaya melindungi anak-anak dari lingkungan tercemar harus dilakukan secara kolaboratif dan bersinergi antara berbagai stakeholders, seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, DPR RI, DPRD, pemerintah kelurahan/desa, LPM, DPD, ketua RT/RW, orang tua, komisi perlindungan, bos-bos/pengepul sampah, NGOs, kelompok peduli anak, lembaga pendidikan, dll. Semua bisa berkontribusi secara konkrit.

 

Pekerjaan utama yang perlu dilakukan, pertama, penataan pemukiman yang layak dan nyaman. Kedua, menyediakan tempat-tempat bermain layak anak. Ketiga, mendorong dan menyediakan peluang agar anak-anak masuk ke sekolah jenjang PAUD/SPS/TK/, SD, SLTP, dll. Kempat, penyediaan pelayanan pengobatan gratis yang bisa diakses oleh siapa saja, terutama keluarga pemulung dan warga miskin. 

 

Kelima, bantuan makanan sehat dan bergizi. Keenam, pemerintah bersama stakeholders lain mesti merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik yang lebih populis dan memihak kepada kelompok-kelompok keluarga miskin dan rentan, termasuk perlindungan anak. Pemikiran Ghani dan Lockhart dikutip Prof. Abdul Wahab, Ph.D, Universitas Brawijaya (2015), bahwa “public policy is all around us, defining our daily experiences and life chances even if we cannot see it” (kebijakan publik ada di sekitar kita, mendefinisikan pengalaman kita sehari-hari dan kemungkinan hidup itu, bahkan jika kita tidak bisa melihatnya).

 

Ketujuh, melakukan advokasi perlindungan anak dan perempuan. Meskipun sulit dan perlu waktu panjang, tentu, masih banyak program dan kegiatan yang bisa dilakukan bersama dalam melindungi anak untuk kehidupan yang lebih baik dan mencerahkan.***

Related Post

Post a Comment

Comments 0