Kanaikan Pajak, Untuk Siapa?

Dampak kenaikan PPN tidak hanya dirasakan oleh konsumen, tetapi juga oleh pelaku usaha. Kenaikan tarif PPN ini akan meningkatkan biaya produksi, terutama di sektor manufaktur. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengganggu pemulihan ekonomi pasca-pandemi, terutama bagi usaha kecil dan menengah (UKM) yang masih berjuang untuk bangkit.

UKM menyumbang lebih dari 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Jika beban pajak semakin berat, banyak UKM yang terancam gulung tikar, yang pada akhirnya akan meningkatkan angka pengangguran dan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.

Langkah Konkret: Sahkan RUU Perampasan Aset!

Setelah draf Rancangan Undang-Undang atau RUU Perampasan Aset dibiarkan belasan tahun di meja dewan rakyat, terkini Badan Legislatif DPR bahkan justru tak memasukkan wacana regulasi ini ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2024-2029.

Atas nama meningkatkan penerimaan negara, 2025 RUU Perampasan Aset tak jadi prioritas, malah kenaikan PPN 12% yang lepas landas. Padahal RUU ini bertujuan untuk merampas aset hasil tindak pidana, seperti korupsi, dan tindak pidana lainnya tanpa harus menunggu proses pidana yang panjang dan berbelit-belit.

Mengapa ini penting? Tahun lalu, Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp50 triliun per tahun. Ironisnya, tingkat pengembalian kerugian melalui pidana uang pengganti hanya sekitar 7,3 Triliun dari total kerugian. Dengan pengesahan RUU Perampasan Aset, negara memiliki peluang lebih untuk mengembalikan aset tersebut secara lebih efektif. 

Selain itu, RUU ini dapat memberikan efek jera bagi pelaku pidana korupsi. Ketika koruptor tidak hanya dipenjara tetapi juga kehilangan seluruh hasil kejahatannya, maka peluang untuk mencegah korupsi di masa depan akan semakin besar. Ini adalah